Sebelum pemerintah Belanda mengijinkan kembali membuka hutan lindung di
desa Bongancina sekitar tahun 1600 an, desa ini telah pernah
berpenghuni. Tetapi penduduk ketika itu tidak bisa bertahan, karena
lahan pertanian mereka diserang oleh hama semut merah, sehingga penduduk
mengungsi ke arah timur ke desa Kaliukir, Kecamatan Pupuan. Hal ini
terlihat dari fakta, dimana sampai saat ini bila diadakan piodalan di
Pura Desa & Puseh Bongancina, keturunan dari bekas penduduk yang
kini sudah tinggal di desa Kaliukir, datang untuk ”ngaturang bhakti” ke
Pura tersebut.
Juga dari penuturan tetua-tetua desa, desa ini pernah dihuni oleh orang
Tionghoa, hal ini terlihat dari penemuan penduduk berupa perhiasan,
gerabah, keramik, serta daun gender kuno, di beberapa tempat. Mereka
juga meninggalkan desa ini, karena tidak tahan dengan serangan hama
semut merah. Nama Bongancina diduga berasal dari BONGanCINA (Kuburan
Cina). Pernah ada seorang warga Tionghoa yang datang dari Jakarta, untuk
melihat keberadaan desa Bongancina dan Pura Ratu Patih. Entah karena
petunjuk mimpi atau sebab lain. Diduga Bongancina pernah menjadi desa
tujuan, pada saat pertama kali orang Tionghoa menginjakkan kakinya di
Bali. Pada saat ini di Bongancina ada seorang tapakan dipercaya sebagai
dasaran Dewi Kwan Im.
DIHUNI KEMBALI
Pada awal tahun 1600 an pemerintah Belanda mengijinkan penduduk untuk
membuka hutan lindung di daerah Kutul (kini desa Pucaksari, Kecamatan
Busungbiu 12 km di sebelah barat Pupuan), termasuk pembukaan hutan di
Bongancina (waktu itu masih merupakan Banjar dari Desa Kutul).
Menghadapi beratnya medan, menghadapi binatang buas dan sulitnya
menebang pohon-pohon besar dengan peralatan seadanya, diperlukan adanya
semangat persatuan, kerjasama, saling membantu, dan semangat setia kawan
diantara penduduk. Karena itu beberapa orang cikal bakal pendiri desa
Bongancina, yang tinggal dalam satu lokasi di palemahan Bongancina Tua
yang terdiri dari keluarga I Dewa Made Turun, I Dewa Made Mayus, I Dewa
Putu Kereped, I Dewa Nyoman Bajing, I Dewa Putu Darta, I Gusti Putu
Siama dan I Gusti Made Tama, mengucapkan ikrar :
1) Siapa yang berada di rumah, agar menjaga keluarga yang lainnya. Siapa yang berselingkuh agar tidak menemukan keselamatan (Pada saat itu terdengar suara Guntur menggelegar).
2) Siapa yang ”nyetik” (meracun), neluh, nerangjana (menggunakan ilmu hitam), mencelakai teman lainnya, agar tidak menemukan keselamatan. (Pada saat itu terdengar suara burung tuu-tuu). (Kutipan dari catatan peninggalan keluarga I Dewa Putu Kereped).
1) Siapa yang berada di rumah, agar menjaga keluarga yang lainnya. Siapa yang berselingkuh agar tidak menemukan keselamatan (Pada saat itu terdengar suara Guntur menggelegar).
2) Siapa yang ”nyetik” (meracun), neluh, nerangjana (menggunakan ilmu hitam), mencelakai teman lainnya, agar tidak menemukan keselamatan. (Pada saat itu terdengar suara burung tuu-tuu). (Kutipan dari catatan peninggalan keluarga I Dewa Putu Kereped).
PURA RATU PATIH
Pada saat pembukaan hutan, penduduk belum mampu mendirikan Pura
Kahyangan Tiga, oleh karena itu cikal bakal pendiri desa yang tersebut
diatas beserta penduduk yang lain yang tinggal di lokasi yang berbeda,
mendirikan bebaturan sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa, tempat
memuja beliau untuk tempat memohon agar penduduk bisa selamat tidak
terserang binatang buas dan terhindar dari serangan hama semut merah.
Pura tersebut kemudian dikenal dengan nama Pura Ratu Patih (Nama ini
diberikan oleh orang yang kesurupan pada saat dilaksanakan piodalan).
Pura ini pernah dipugar tahun 1978 dan dipenghujung tahun 2009
dilaksanakan pemugaran kembali yang dilaksanakan oleh para Pengempon
Pura yang jumlahnya 85 KK.. Pembangunan Tahap Pertama diselesaikan
diawal tahun 2010 dan pada tanggal 12 Januari 2010, dilangsungkan
upacara pemelaspasan, yang dipuput oleh Ida Pedanda Griya Jagaraga dan
dihadiri juga oleh Muspika Kecamatan Busungbiu.
PERAN PURA RATU PATIH
Disaat pembukaan hutan dilakukan, Pura ini digunakan sebagai tempat
ngaturang bhakti dan tempat memohon keselamatan agar penduduk tidak
mendapat halangan dalam membuka hutan. Pada masa Revolusi phisik, Pura
ini juga digunakan oleh para pejuang, sebagai tempat untuk berlindung.
Desa Bongancina merupakan desa basis perjuangan dimana Markas Cabang
Menaka Giri yang dipimpin oleh I Dewa Putu Dhanu (Pak Sundih) berlokasi
Di Markas Cabang Menaka Giri iini dihimpun para pejuang dari desa
Bongancina, Tista, Sepang, Kutul (Pucaksari) dan Belatungan (Kecamatan
Pupuan). Pada saat tentara Nica dan ”gandek”nya (sebutan untuk orang
pribumi yang menjadi kaki tangan Belanda), melakukan pembakaran rumah
penduduk desa Bongancina, maka penduduk mengungsi ke Munduk Gawang.
Pembakaran rumah penduduk dibarengi juga dengan penyisiran terhadap
pejuang oleh tentara Nica. Pada waktu itu pejuang memperoleh ”petunjuk”
agar berlindung di Pura Ratu Patih yang jaraknya hanya tiga meter dari
jalan raya. Entah karena kebetulan atau memang karena para pejuang
memperoleh perlindungan serara ”niskala”, semua pejuang selamat pada
saat penyisiran itu. Hanya saja dalam pertempuran yang lain di desa
Bongancina, sebanyak lima orang pejuang gugur, yang kemudian oleh
penduduk didirikan Tugu Pahlawan, untuk mengenang perjuangan beliau.
PURA RATU PATIH SEBAGAI LOKASI MEDITASI ?
Pura Ratu Patih terletak di ketinggian (munduk), sehingga pada pagi hari
disaat udara cerah semua desa di sebelah timur Bongancina, Gunung
Batukaru dan Gunung Agung nampak dengan jelas. Menginjakkan kaki di
pelataran pura, terasa ada vibrasi positif terpancar di area itu.
Beberapa bulan setelah upacara pemelaspasan, ada seorang bhakta penekun
spiritual dari Denpasar, datang ke Pura tersebut. Beliau datang kesana
dituntun oleh mimpinya Beliau terkesan dengan keberadaan Pura Ratu Patih
dan sebagai wujud bhakti dan juga untuk menambah dana dalam usaha
melanjutkan pembangunan phisik pura tesebut, beliau memprakarsai
pembuatan Kupon Sumbangan Berhadiah dan beliau juga yang ngaturang punia
dalam bentuk pembuatan Kupon tersebut. Penarikan hadiahnya dilakukan
tanggal 30 Agustus 2010 dan tanggal 31 Januari 2011. Semoga niat baik
datang dari segala penjuru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar